Beata Maria Carola Cecchin, SSGC Kasih “Mwari Mwega” yang Tak Pernah Tenggelam
13 November 2025 | 07.07 WIB
SANCTORY - Di sebuah desa kecil di Kenya, Afrika Timur, orang-orang sering menceritakan kisah tentang seorang perempuan luar biasa. Mereka menyebutnya “Mwari Mwega”, yang artinya Suster Baik Hati. Ia bukan orang Kenya, tapi dari Italia, jauh di Eropa sana. Namanya adalah Suster Maria Carola Cecchin, seorang misionaris yang datang membawa kasih, harapan, dan senyum untuk semua orang.
Membawa Kasih
Tahun 1905, Suster Maria Carola tiba di Kenya setelah perjalanan panjang dengan kapal laut. Ia datang bersama beberapa suster lain dari Kongregasi Suster Santo Yosef Benediktus Cottolengo. Tugas mereka sederhana tapi berat: mengajar anak-anak, merawat orang sakit, dan menolong siapa pun yang membutuhkan.
Cuaca di Kenya panas, makanan berbeda, dan bahasa sulit dimengerti. Tapi Suster Maria Carola tak pernah mengeluh. Ia belajar bahasa Kikuyu agar bisa berbicara langsung dengan penduduk. Ia bahkan menanam sayuran dan membangun rumah kecil agar para suster bisa tinggal dengan nyaman.
Setiap hari ia berjalan jauh, menyusuri jalan tanah merah, hanya untuk mengunjungi orang sakit atau mengajar anak-anak. Di mana pun ia berada, di Limuru, Muranga, Nyeri, atau Meru, ia selalu dikenal sebagai perempuan yang selalu tersenyum dan penuh kasih.
Tak Menyerah
Suster Maria Carola bukan hanya seorang pengajar. Ia juga dokter, perawat, tukang masak, dan sahabat bagi semua orang. Saat wabah flu Spanyol menyerang, ia membantu merawat banyak orang tanpa takut tertular. Ketika perang dunia pecah, ia menolong tentara yang terluka tanpa pamrih.
Kadang ia merasa rindu rumah dan tubuhnya sering lemah karena penyakit. Namun ia selalu berkata,
“Setiap orang miskin adalah wajah Yesus sendiri.”
Semangatnya menular. Anak-anak di Kenya memanggilnya Mama Carola karena ia memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri.
Akhir Hidup di Laut Merah
Dua puluh tahun lamanya ia tinggal dan melayani di Kenya. Namun pada tahun 1925, kesehatannya semakin menurun. Dalam keadaan lemah, ia harus pulang ke Italia bersama rombongan terakhir para suster Cottolengo.
Di atas kapal bernama Porto Alessandretta, yang berlayar melewati Laut Merah, Suster Maria Carola sakit parah. Pada 13 November 1925, ia menghembuskan napas terakhir. Karena aturan kesehatan saat itu, tubuhnya tidak bisa dibawa pulang ke darat. Ia dibungkus kain putih dan dimakamkan di laut, di tempat ia menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan.
Meskipun jasadnya tenggelam di samudra, semangat kasihnya tetap hidup di hati banyak orang.
Mukjizat di Tengah Hujan
Delapan puluh delapan tahun berlalu. Di Kenya, pada 14 April 2013, hujan deras mengguyur sebuah desa kecil. Seorang ibu melahirkan di mobil Land Rover di tengah perjalanan menuju rumah sakit. Bayi yang lahir tidak bernapas. Semua orang panik.
Para suster Cottolengo yang menolong berdoa dengan penuh iman. Salah seorang suster berdoa lantang,
“Suster Maria Carola, tolonglah kami! Mohonlah kepada Tuhan agar bayi ini hidup!”
Tiga puluh menit berlalu tanpa tanda-tanda kehidupan. Namun tiba-tiba… bayi itu menangis! Bayi laki-laki bernama Hilary Msafiri Kiama itu hidup dan tumbuh sehat sampai sekarang.
Dokter tidak bisa menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi. Gereja pun menyelidikinya dan menyatakan bahwa itulah mukjizat melalui doa Suster Maria Carola.
Dinyatakan Beata
Pada 13 Desember 2021, Paus Fransiskus menyetujui mukjizat tersebut. Dan pada 5 November 2022, di kota Meru, tempat Suster Maria Carola dulu melayani diadakan misa besar. Ribuan orang hadir. Di antara mereka, ada anak-anak yang mendengar kisah Suster Baik Hati dari kakek-nenek mereka.
Kardinal Antoine Kambanda dari Rwanda berkata,
“Ia (Suster Maria Carola) mengenal tanah ini. Ia hidup di antara kita, mengasihi orang miskin, dan menjadi teladan bagi para misionaris cinta kasih.”
Sejak hari itu, Gereja Katolik resmi menyebutnya Beata Maria Carola Cecchin, seorang teladan kasih sejati yang setia melayani sampai akhir hidupnya.
Tak Pernah Tenggelam
Bagi para suster di Kenya, Suster Maria Carola bukan hanya seorang misionaris. Ia adalah ibu, sahabat, dan inspirasi. Suster Elda Pezzuto, pemimpin para Suster Cottolengo, berkata,
“Ia (Beata Maria Carola) jarang bicara, tapi banyak bertindak. Dengan kelembutan seorang ibu, ia memasak untuk semua orang dan mengunjungi orang sakit. Karena itu, semua orang memanggilnya Suster Baik Hati.”
Kini, orang-orang di Kenya masih mengenangnya setiap kali mereka menolong orang lain. Laut Merah mungkin menyimpan tubuhnya, tapi kasihnya terus mengalir seperti ombak, tak pernah berhenti, tak pernah hilang.
Bung Yan