Beato Yosef Timotius Giaccardo SSP Rasul Media yang Setia
22 Oktober 2025 | 02.27 WIB
Di sebuah kota kecil bernama Cuneo di Italia, pada 13 Juni 1896, lahirlah seorang bayi laki-laki yang lucu bernama Yosef Giaccardo. Ayahnya bernama Stefanus, dan ibunya Maria Cagna. Mereka adalah keluarga petani yang sederhana dan penuh kasih. Yosef adalah anak sulung dari lima bersaudara.
Saat Yosef masih bayi, kira-kira baru enam bulan, ia sakit parah dan hampir meninggal. Ayah dan ibunya berdoa dengan sangat sungguh kepada Bunda Maria, dan ajaib! Yosef sembuh dan tumbuh menjadi anak yang sehat.
Sejak kecil, Yosef sangat mencintai Tuhan. Di kamarnya, ia memiliki patung kecil Bunda Maria, yang selalu ia pandangi dengan penuh kasih. Ia juga rajin berdoa dan senang menjadi misdinar di gereja. Semua orang mengenalnya sebagai anak yang lembut, taat, dan rajin membantu.
Pertemuan yang Mengubah
Saat Yosef berumur 12 tahun, ia bertemu seorang imam muda bernama Romo Yakobus Alberione. Romo Alberione kagum dengan Yosef yang rajin dan saleh. Ia lalu mengajak Yosef untuk belajar di seminari, sekolah untuk calon imam, di kota Alba. Yosef belajar dengan sungguh-sungguh. Di buku hariannya, ia menulis kalimat indah:
“Aku ingin menjadi orang kudus. Ya Tuhan, ubahlah aku menjadi seperti Engkau.”
Imam Muda
Ketika berusia 19 tahun, Yosef sempat dipanggil menjadi tentara. Tapi karena sakit anemia, ia dibebaskan dan kembali belajar di seminari.
Di sana, Yosef bergabung dengan Kongregasi Santo Paulus, kelompok religius yang didirikan oleh Romo Alberione untuk menyebarkan Kabar Gembira lewat media dan buku. Saat itu, Yosef memilih nama biara baru: “Timotius”, seperti murid Santo Paulus yang setia.
Yosef akhirnya menjadi imam pada 19 Oktober 1919. Ia ditahbiskan lebih cepat agar ibunya yang sakit bisa melihat anaknya menjadi imam. Tak lama kemudian, ibunya meninggal dunia dengan bahagia, karena sempat menyaksikan momen indah itu.
Paling Setia
Romo Alberione sangat sayang kepada Romo Timotius. Ia menyebutnya “yang paling setia di antara yang setia.”
Romo Timotius juga dikenal bijaksana, rendah hati, dan penuh kasih. Ia menjadi guru dan pembimbing bagi banyak romo muda.
Pada tahun 1926, ia dikirim ke Roma untuk mendirikan rumah pertama bagi para imam Paulus di sana. Bayangkan! Ia berangkat hanya dengan membawa uang 3.000 lira Italia (Rp. 29.885), jumlah yang sangat kecil. Tapi berkat iman dan kerja keras, rumah itu akhirnya berdiri dan berkembang menjadi pusat karya besar bagi Gereja.
Kerja Keras
Tahun 1936, Romo Timotius kembali ke Alba. Di sana, ia membantu mendirikan komunitas para suster, yang juga didirikan oleh Romo Alberione. Para suster ini membantu karya pewartaan lewat doa dan pelayanan.
Lalu pada tahun 1946, Romo Timotius dipanggil lagi ke Roma untuk menjadi Vikaris Jenderal, yaitu pembantu utama pemimpin kongregasi. Ia bekerja keras, meskipun tubuhnya mulai lemah.
Melayani dengan Gembira
Pada akhir tahun 1947, Romo Timotius jatuh sakit parah. Dokter berkata ia menderita leukemia, yaitu penyakit kanker darah. Walau tubuhnya lemah, Romo Timotius tetap tersenyum dan melayani dengan gembira. Ia bahkan masih sempat memimpin Misa terakhirnya pada 12 Januari 1948, hari yang sama ketika Paus Pius XII menyetujui berdirinya kongregasi/kelompok para suster yang didirikan oleh Romo Alberione .
Beberapa hari kemudian, pada 24 Januari 1948, Romo Timotius meninggal dunia dengan damai. Ia berpulang tepat sebelum Pesta Pertobatan Santo Paulus, orang yang sangat ia kagumi seumur hidupnya.
Merasakan Pertolongan
Setelah Romo Timotius meninggal, banyak orang merasakan doa dan pertolongannya. Karena itu, Gereja mulai menyelidiki hidupnya yang penuh cinta dan kesetiaan.
Tahun 1964, Paus Paulus VI menyebutnya “Hamba Allah.”
Tahun 1985, Paus Yohanes Paulus II mengakui hidupnya yang suci dan memberinya gelar “Yang Mulia (Venerabilis).”
Akhirnya, pada 22 Oktober 1989, Paus Yohanes Paulus II menyatakannya sebagai beato, yang artinya “yang diberkati.”
Sejak saat itu, setiap 22 Oktober, Gereja memperingati Beato Timotius, rasul media yang setia.
Cinta yang Besar
Beato Timotius mengajarkan bahwa untuk menjadi kudus, kita tidak perlu melakukan hal besar. Cukuplah melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.
Ia menunjukkan bahwa dengan iman, ketaatan, dan kesetiaan kepada Tuhan, kita pun bisa membawa terang bagi dunia, meski dengan langkah-langkah yang sederhana.
Bung Yan