Santa Bibiana Gadis Kecil yang Tetap Tersenyum Menghadapi Tantangan
2 Desember 2025 | 22.40 WIB
Pada zaman dulu, ketika kota Roma masih dipenuhi bangunan megah dan jalan-jalan berbatu yang sibuk, hiduplah seorang gadis muda bernama Bibiana. Ia tinggal bersama ayahnya, Flavianus, ibunya, Dafrosa, dan kakaknya, Demetria. Keluarga kecil ini hidup sederhana, tetapi saling menyayangi dan memegang teguh iman mereka kepada Tuhan.
Bibiana dan Demetria tumbuh sebagai dua kakak beradik yang cerdas dan berhati lembut. Mereka sering membantu ibu menyiapkan makanan, membersihkan rumah, serta berdoa bersama sebelum tidur. Dalam hati mereka, iman adalah cahaya yang selalu dijaga dan disyukuri.
Namun suatu hari, angin perubahan yang keras melanda Roma. Kaisar yang sedang berkuasa, Kaisar Julian, tidak menyukai para pengikut Kristus. Ia menganggap iman mereka sebagai ancaman bagi kekuasaannya. Maka dimulailah masa sulit, masa ketika banyak orang Kristen dikejar dan disiksa hanya karena mereka berani percaya kepada Tuhan.
Keluarga Bibiana pun tak luput dari badai itu. Ayah mereka, Flavianus, yang dahulu pernah menjadi pejabat penting di Roma, ditangkap. Ia dituduh tidak setia kepada kaisar hanya karena mempertahankan imannya. Flavianus disiksa, lalu dibuang jauh dari kota. Dalam luka dan penderitaan, ia akhirnya meninggal. Berita itu sampai kepada keluarga, dan hati Bibiana serasa patah. Tetapi ibunya berkata dengan suara lembut, “Percayalah, Nak. Ayahmu kini berada di dalam damai Tuhan.”
Tak lama kemudian, malapetaka kembali menghampiri. Ibu mereka, Dafrosa, ikut ditangkap dan dihukum mati. Demetria dan Bibiana tinggal berdua, tanpa ayah dan tanpa ibu, namun mereka tidak diusir dari rumah. Semua harta mereka disita, sehingga mereka harus bertahan hanya dengan apa yang tersisa. Meski demikian, mereka memilih untuk tetap tinggal di rumah, berpuasa, berdoa, dan saling menguatkan.
Hari-hari terasa panjang, dan kadang perut terasa sangat lapar. Namun bagi dua gadis muda itu, rasa lapar tidak mampu mengalahkan kekuatan iman mereka. Mereka percaya bahwa Tuhan bersama mereka, meski dunia tampak gelap.
Pada suatu hari, pejabat yang kejam dan haus kekuasaan, Apronianus, mendengar bahwa kedua gadis ini tetap teguh dalam iman. Ia menjadi marah dan memerintahkan agar mereka dibawa ke hadapannya. Demetria, sang kakak, maju terlebih dahulu. Dengan suara tenang ia berkata bahwa dirinya adalah pengikut Kristus dan tidak akan pernah meninggalkan iman itu. Baru saja kata-katanya selesai, tubuhnya jatuh tersungkur. Demetria meninggal seketika, seolah Tuhan sendiri menjemputnya sebelum ia mengalami siksaan.
Kini Bibiana sendirian. Tetapi ia menguatkan hati dan berkata dalam doa, “Tuhan, berikan aku kekuatan seperti yang Kau berikan kepada Ibu, Ayah, dan Kakak.”
Apronianus, yang melihat keteguhan itu, tidak langsung membunuh Bibiana. Ia ingin membuat gadis muda itu menyerah. Ia menyerahkannya kepada Rufina, seorang perempuan yang jahat dan licik. Tugas Rufina hanyalah satu: membuat Bibiana meninggalkan imannya dengan bujukan ataupun ancaman. Hari demi hari, Rufina memarahi, menekan, bahkan memukul Bibiana. Namun gadis kecil itu tidak goyah. Ia tetap menolak semua ajakan yang bertentangan dengan ajaran Tuhan.
Rufina merasa kesal. Ia melaporkan kepada Apronianus bahwa usaha apa pun tak mempan. Pejabat itu pun akhirnya mengeluarkan perintah yang kejam. Bibiana diikat pada sebuah tiang tinggi di tengah kota. Para algojo mengambil cambuk yang ujung-ujungnya diberi pemberat dari timah. Lalu mereka memukulkan cambuk itu ke tubuh Bibiana.
Setiap pukulan menyakitkan. Setiap hembusan napas terasa semakin berat. Namun dalam penderitaannya, Bibiana tidak menjerit atau mengumpat. Ia berusaha tersenyum, bukan karena tidak merasakan sakit, tetapi karena ia tahu bahwa Tuhan ada di sisinya. Ketabahan itu membuat semua yang melihatnya terdiam. Mereka heran, bagaimana mungkin seorang gadis muda memiliki keberanian sebesar itu?
Hingga akhirnya, setelah melalui banyak siksaan, Bibiana menghembuskan napas terakhir. Ia meninggal sebagai seorang gadis yang setia, yang memilih Tuhan lebih daripada hidupnya sendiri.
Tubuhnya dibiarkan begitu saja di tempat terbuka. Para penjaga mengira hewan liar akan memakan tubuh itu. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Burung, anjing, bahkan binatang buas yang melintas tidak menyentuh tubuh Bibiana sedikit pun. Mereka seolah tahu bahwa di hadapan mereka terbaring seorang gadis suci.
Dua hari kemudian, seorang imam bernama Yohanes diam-diam datang bersama beberapa umat. Dengan hati penuh hormat, ia mengangkat tubuh Bibiana dan menguburkannya di dekat tempat ibu dan kakaknya dimakamkan. Rumah itu kemudian diubah menjadi sebuah gereja, tempat umat datang untuk berdoa dan mengenang keberanian gadis muda yang tidak pernah menyerah pada iman.
Bertahun-tahun kemudian, Paus Simplicius membangun sebuah basilika indah di tempat itu. Basilika tersebut diberi nama Santa Bibiana, dan hingga kini masih berdiri di kota Roma sebagai pengingat bahwa keberanian tidak selalu datang dari orang yang besar dan kuat. Kadang-kadang, keberanian muncul dari hati seorang gadis kecil yang hanya ingin setia kepada Tuhan.
Santa Bibiana memilih untuk tetap teguh dalam iman, sekalipun ia kehilangan keluarganya dan harus menghadapi siksaan yang berat. Kisahnya mengingatkan kita bahwa iman, harapan, dan kasih dapat menjadi cahaya yang tetap menyala, bahkan ketika dunia mencoba memadamkannya.
Bung Yan