Santa Francesca Xavier Cabrini, MSC Selamat dari Tragedi Kapal Titanic Menjadi Ibu Para Imigran
13 November 2025 | 19.21 WIB
SANCTORY - Pada tahun 1912, dunia dikejutkan oleh tenggelamnya kapal paling megah pada zamannya, Titanic. Ribuan orang tewas di tengah laut dingin Atlantik. Namun, di balik tragedi besar itu, tersembunyi kisah penyelamatan yang penuh rahmat.
Suster Francesca Xavier Cabrini, MSC dan beberapa suster Misionaris Hati Kudus sebenarnya telah membeli tiket untuk berlayar dengan Titanic menuju Amerika Serikat. Mereka ingin kembali ke New York setelah perjalanan misi di Eropa. Namun, hanya beberapa hari sebelum keberangkatan, Suster Cabrini menerima kabar bahwa rumah sakitnya di Chicago sedang mengalami masalah besar dan membutuhkan kehadirannya segera.
Tanpa berpikir panjang, ia mengubah tiket kapal ke pelayaran lain yang berangkat lebih awal. Keputusan sederhana itu, yang lahir dari kepedulian kepada orang sakit, menyelamatkan nyawanya dan para suster! Ketika Titanic tenggelam, mereka selamat karena mengikuti suara hati yang penuh kasih.
Banyak orang kemudian berkata,
“Tuhan masih membutuhkan Suster Cabrini di dunia ini.”
Dan memang benar, Tuhan memanggilnya untuk melayani lebih banyak orang, khususnya mereka yang paling miskin dan terlupakan.
Pelayan Imigran
Ketika tiba di Amerika Serikat, Suster Cabrini terkejut. Kota-kota besar seperti New York, Chicago, dan New Orleans dipenuhi oleh para imigran Italia yang datang mencari kehidupan baru. Namun, kenyataannya sangat pahit. Mereka tinggal di rumah-rumah sempit, bekerja keras dengan upah kecil, dan sering diperlakukan tidak adil hanya karena mereka orang asing.
Hati Suster Cabrini tidak tahan melihat penderitaan itu. Ia berkata,
“Anak-anak ini lapar, bukan hanya akan roti, tetapi juga kasih.”
Maka, bersama para suster, ia mulai mengetuk pintu-pintu rumah kumuh di distrik Italia. Mereka mengajar anak-anak membaca dan menulis, mengajari para ibu menjahit agar bisa bekerja, dan merawat yang sakit tanpa meminta bayaran.
Dari situ lahirlah sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit pertama bagi para imigran Italia. Cabrini mengatur semuanya dengan teliti: dari dapur, jadwal belajar, hingga doa malam bersama anak-anak. Ia ingin setiap orang miskin merasakan cinta Tuhan yang lembut dan nyata.
Tak lama kemudian, karya mereka menyebar ke seluruh negeri, ke Chicago, Denver, Los Angeles, dan New Orleans. Di setiap tempat, orang-orang mengenal Cabrini sebagai “Ibu bagi Para Imigran.”
Panggilan Hidup
Perjalanan panjang itu bermula dari seorang gadis kecil lemah yang lahir pada 15 Juli 1850 di Sant’Angelo Lodigiano, Italia Utara. Ia diberi nama Maria Francesca Cabrini, anak bungsu dari tiga belas bersaudara, namun hanya empat yang hidup sampai dewasa.
Sejak kecil, Francesca sering sakit-sakitan. Tapi hatinya besar. Ia tumbuh dengan jiwa lembut, penuh kasih, dan punya imajinasi yang indah.
Ia sering bermain di tepi sungai dekat rumah pamannya, Romo Luigi, sambil membuat perahu-perahu kecil dari kertas. Di atas perahu itu, ia menaruh bunga violet kecil dan berkata,
“Ini adalah para misionaris kecilku. Semoga mereka sampai ke India atau Cina untuk mewartakan kasih Yesus.”
Itulah impian pertamanya menjadi misionaris.
Namun suatu hari, saat bermain, Francesca terpeleset ke sungai dan hampir tenggelam. Ia diselamatkan oleh orang-orang yang lewat. Setelah kejadian itu, Francesca yakin bahwa Tuhan menyelamatkannya karena Ia punya rencana besar.
Awal Karya
Kakaknya, Rosa, adalah seorang guru. Francesca mengaguminya dan ingin menjadi guru juga. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Suster Hati Kudus di Arluno, dan lulus dengan nilai terbaik.
Ia lalu menjadi guru di sekolah paroki dan terkenal karena kesabarannya. Anak-anak mencintainya. Francesca juga sering mengunjungi orang miskin setelah mengajar, membawa makanan kecil dan doa.
Namun, setelah orang tuanya meninggal, Francesca ingin menjadi suster. Sayangnya, dua biara menolaknya karena kesehatannya yang rapuh. Tapi Francesca tidak menyerah. Ia percaya,
“Jika Tuhan memanggil, pasti Dia juga akan membuka jalan.”
Mendirikan Kongregasi
Pada tahun 1874, Romo dari Codogno memintanya mengurus panti asuhan yang hampir tutup. Francesca menerima tugas itu dengan gembira. Di sana, ia akhirnya mengikrarkan kaul sebagai suster dan menambahkan nama “Xavier” di depan namanya, menghormati Santo Fransiskus Xaverius, pelindung para misionaris.
Namun, biara itu kemudian mengalami banyak masalah dan ditutup. Francesca tidak putus asa. Ia justru merasa Tuhan ingin ia memulai sesuatu yang baru.
Maka pada tahun 1880, ia mendirikan Kongregasi Suster Misionaris Hati Kudus Yesus (Missionary Sisters of the Sacred Heart of Jesus / MSC). Tujuan kongregasi ini sederhana namun kuat:
“Menyebarkan kasih Yesus ke seluruh dunia melalui pendidikan, pelayanan, dan kasih bagi yang miskin.”
Dalam lima tahun saja, mereka sudah memiliki tujuh rumah karya di Italia. Mereka membuka sekolah, panti asuhan, dan tempat belajar keterampilan bagi anak-anak miskin. Hati mereka benar-benar dipenuhi cinta Tuhan.
Panggilan ke Amerika
Suatu hari, Uskup Giovanni Battista Scalabrini datang menemui Suster Cabrini. Ia berkata,
“Banyak orang Italia pergi ke Amerika. Mereka hidup miskin dan kesepian di sana. Maukah engkau membantu mereka?”
Francesca sebenarnya sudah lama bermimpi menjadi misionaris di Cina, tapi ketika ia menghadap Paus Leo XIII, Paus berkata,
“Jangan ke Timur, Francesca. Pergilah ke Barat... ke New York.”
Tanpa ragu, Francesca menjawab,
“Baik, Bapa Suci. Demi Hati Kudus Yesus, saya akan pergi.”
Tantangan Awal
Pada 1889, Suster Cabrini berlayar ke Amerika bersama enam suster. Mereka tiba di New York City, kota besar yang ramai tapi keras. Mereka tidak punya rumah, tidak mengenal siapa pun, dan bahkan malam pertama harus tidur di kursi karena tempat tinggal mereka penuh kutu kasur.
Ketika menghadap Uskup Agung Michael Corrigan, sang uskup menyarankan agar mereka pulang karena belum ada tempat untuk mereka. Namun, Suster Cabrini dengan lembut berkata,
“Saya datang dengan surat dari Paus. Saya tidak akan kembali sebelum saya melakukan kehendak Tuhan.”
Perlahan-lahan, bantuan datang. Mereka diberi tempat tinggal sementara dan mulai melayani para imigran Italia. Dari sinilah karya besar itu bermula.
Misi Meluas
Karya Suster Cabrini berkembang pesat. Dalam waktu singkat, ia mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan di berbagai kota di Amerika.
Tapi semangatnya tak berhenti di situ. Ia menyeberangi lautan ke Amerika Selatan, membuka sekolah di Argentina, Brasil, Nikaragua, bahkan mendaki pegunungan Andes dengan menunggang keledai!
Pada 1909, ia menjadi warga negara Amerika Serikat dan berkata,
“Saya ingin menjadi satu dengan orang-orang yang saya layani.”
Akhir Hidup
Pada bulan Desember 1917, di Chicago, Suster Cabrini sedang membungkus permen untuk anak-anak miskin menjelang Natal. Namun keesokan harinya, tubuhnya lemah. Ia jatuh sakit dan wafat dengan damai pada 22 Desember 1917, dalam usia 67 tahun.
Selama hidupnya, ia telah mendirikan 67 lembaga karya kasih, mulai dari sekolah, rumah sakit, hingga panti asuhan di tiga benua.
Ia benar-benar menjadi ibu bagi ribuan anak dan imigran, dan teladannya terus hidup sampai hari ini.
Kanonisasi dan Penghormatan
Mukjizat demi mukjizat terjadi lewat perantaraan doa melalui Suster Cabrini . Seorang bayi buta sembuh setelah disentuh dengan relikui Suster Cabrini.
Seorang suster yang hampir meninggal melihat penampakannya dan pulih seketika.
Pada tahun 1946, Paus Pius XII mengangkatnya menjadi Santo, dan pada tahun 1950, Gereja mengakui Santa Francesca Xavier Cabrini, MSC sebagai Pelindung Para Imigran.
Kini, patung dan gereja untuk mengenangnya berdiri di banyak tempat di New York, Chicago, dan Colorado. Di sana, orang berdoa dan mengenang seorang perempuan bertubuh lemah namun berhati sebesar dunia.
Santa Francesca Xavier Cabrini mengajarkan bahwa cinta sejati tidak mengenal batas negara, bahasa, atau warna kulit. Ia menunjukkan bahwa tubuh yang lemah bisa menjadi kuat jika dipenuhi cinta Tuhan.
Ia pernah berkata,
“Jika kita punya iman sebesar sebutir debu, maka kita bisa menggerakkan gunung-gunung.”
Dan benar, dengan iman dan kasih, Santa Cabrini menggerakkan dunia. Sampai hari ini, ia tetap menjadi “Ibu bagi Para Imigran”, teladan kasih tanpa batas.
Bung Yan