Santo Charles de Foucauld Sahabat Gurun yang Belajar Mengasihi dalam Sunyi

1 Desember 2025 | 22.13 WIB

santo-charles-de-foucauld-sahabat-gurun-yang-belajar-mengasihi-dalam-sunyi

SANCTORY - Pada suatu hari di tanggal 15 September 1858, lahirlah seorang bayi laki-laki di kota Strasbourg, Prancis. Namanya Charles Eugène de Foucauld de Pontbriand. Keluarganya berasal dari kalangan bangsawan lama dengan moto keluarga yang berbunyi “Jangan pernah tertinggal.” Namun, meskipun ia lahir dari keluarga terpandang dan dihormati, hidup Charles sejak awal tidak berjalan semudah itu. Saat ia baru berusia enam tahun, ayah dan ibunya meninggal. Kehilangan itu menghantamnya seperti badai. Ia dan adiknya, Marie, menjadi yatim piatu, dan sejak itu mereka dibesarkan oleh kakek mereka, seorang insinyur dan perwira yang baik hati.

Kakek ini mencintai kedua cucunya dengan sepenuh hati. Ia mengajari Charles banyak hal, mulai dari disiplin, kejujuran, hingga semangat untuk terus belajar. Namun ada satu hal yang tidak bisa diberikan oleh sang kakek: kedamaian batin. Di dalam hati kecil Charles yang pendiam dan sensitif, selalu ada ruang kosong yang belum pernah terisi.

Charles tumbuh menjadi remaja yang cerdas, tetapi juga keras kepala. Ia sering sakit, mudah marah, dan merasa dunia tidak cukup menarik baginya. Ia disekolahkan di tempat-tempat terbaik, bahkan masuk sekolah militer Saint-Cyr. Namun, ia lebih dikenal sebagai pemuda kaya yang suka berfoya-foya daripada seorang prajurit teladan. Ia kehilangan imannya saat berusia lima belas tahun dan mengaku tidak percaya apa pun. Tuhan baginya hanya seperti cerita lama yang tanpa makna.

Saat Charles semakin dewasa, ia terus hidup tanpa arah, meski orang di sekelilingnya melihat ia memiliki segalanya. Tetapi jauh di dalam hati, ia selalu merasa tidak utuh. Hidupnya seperti berjalan tanpa tujuan yang jelas.

Ketika menjadi perwira muda, ia dikirim ke Aljazair, di Afrika Utara. Tanah ini penuh pasir, panas, dan kesunyian, tetapi justru di sinilah sesuatu yang baru muncul dalam diri Charles. Ia bertemu para Muslim yang berdoa dengan tekun di tengah gurun, menjalani hidup sederhana dengan hati yang damai. Melihat itu, Charles mulai bertanya pelan pada dirinya sendiri, apakah ia sedang kehilangan sesuatu yang sangat penting.

Ia kemudian keluar dari militer dan menjadi penjelajah. Ia melakukan perjalanan berbahaya ke Maroko dengan menyamar sebagai seorang Yahudi miskin. Ia berjalan kaki, tidur di lantai tanah, dan mendengarkan cerita-cerita orang gurun. Ekspedisi itu membuatnya terkenal sebagai peneliti muda, dan ia mendapat medali emas dari Perhimpunan Geografi Paris. Tetapi ketika semua orang memuji, jiwanya tetap sunyi dan kosong. Ia masih belum menemukan apa yang ia cari.

Saat kembali ke Prancis, sesuatu berubah. Charles mulai merasakan kerinduan akan iman, meski ia belum berani mengakuinya. Pada suatu hari ia bertemu dengan seorang imam bernama Abbé Huvelin. Charles datang untuk bertanya tentang agama, tetapi sang imam malah berkata dengan lembut, “Berlututlah dan mengaku dosa.” Charles menurut. Pada saat itulah tembok keras di hatinya runtuh. Ia menangis, merasa seperti pulang ke rumah setelah tersesat sangat lama. Ia berkata, “Saat aku tahu Allah itu ada, aku harus menyerahkan seluruh hidupku kepada-Nya.”

Sejak hari itu, perjalanan hidupnya berubah total.

Charles masuk biara Trapis dan hidup dalam keheningan. Namun ia merasa bahwa Tuhan menginginkannya lebih dekat dengan cara hidup Yesus yang paling sederhana. Ia meninggalkan biara dan tinggal di Nazaret sebagai tukang kebun di rumah biarawati Klaris. Ia bekerja, membersihkan halaman, berdoa, dan merenung dalam kesunyian. Di sanalah ia menemukan panggilan hidupnya: menjadi kecil, sederhana, dan mengasihi tanpa syarat.

Pada tahun 1901, ia ditahbiskan menjadi imam dan meminta diutus ke tempat yang paling jauh dan paling dilupakan. Maka ia kembali ke Afrika Utara dan tinggal di Béni Abbès, lalu pindah ke Tamanghasset, di tengah Gurun Sahara. Gurun itu luas, sunyi, dan seakan tak berujung. Tetapi, justru di tempat itulah Charles merasa paling dekat dengan Tuhan.

Ia tinggal di antara suku Tuareg, orang-orang nomaden yang hidup berpindah dari satu oasis ke oasis lain. Charles belajar bahasa mereka, makan bersama mereka, merawat yang sakit, dan mendengarkan cerita mereka. Ia tidak mewartakan iman dengan banyak kata, tetapi dengan persahabatan. Ia ingin semua orang yang melihatnya berkata, “Jika ia begitu baik, maka Tuhan yang ia sembah pasti baik pula.”

Selama sepuluh tahun, Charles mempelajari adat dan budaya suku Tuareg. Ia menyusun kamus dan tata bahasa mereka dengan sangat teliti. Dalam kesehariannya, ia hidup seperti orang kecil: bekerja sendiri, menanam tanaman, menolong siapa pun yang lewat, dan membuka rumahnya sebagai tempat persaudaraan. Ia menyebut rumah kecilnya sebagai “rumah persaudaraan” dan menyebut dirinya serta siapa pun yang ingin ikut sebagai saudara-saudara kecil.

Namun, pada 1 Desember 1916, di tengah kekacauan perang, Charles diserang oleh sekelompok perampok. Mereka bermaksud menculiknya, tetapi situasi yang tegang membuat seorang remaja menembaknya. Charles meninggal di depan rumah kecilnya, seorang diri, dalam kesunyian gurun yang begitu ia cintai.

Meski wafat tanpa pengikut, tanpa komunitas besar, dan tanpa melihat hasil nyata dari perjuangannya, benih yang ia tanam tumbuh setelah ia tiada. Tulisan-tulisannya, kerendahan hatinya, dan teladannya menginspirasi banyak orang. Komunitas-komunitas rohani bermunculan, seperti Saudara-Saudara Kecil Yesus dan Saudari-Saudari Kecil Yesus, yang mengikuti jejaknya hidup sederhana, bersaudara, serta dekat dengan kaum kecil.

Vatikan kemudian menyelidiki hidupnya. Setelah proses panjang bertahun-tahun, Charles diangkat menjadi Venerabilis, lalu Beato, dan akhirnya pada 15 Mei 2022, Paus Fransiskus menetapkan Charles de Foucauld sebagai seorang santo. Ia dikenang bukan karena kekayaan atau kejayaan militernya, tetapi karena keberaniannya mencintai di tempat yang paling sunyi.

Hidup Charles de Foucauld mengajarkan bahwa Tuhan sering hadir dalam hal-hal yang tampaknya kecil, sepi, dan sederhana. Bahwa cinta tidak butuh panggung besar, cukup hati yang siap berbagi. Ia pernah menulis doa sederhana, “Berilah aku hati yang mengetahui bagaimana mengasihi.” Itulah seluruh inti hidupnya.

Charles de Foucauld, sang sahabat gurun, adalah seorang kudus yang menemukan Tuhan dalam keheningan, menghidupi kasih dalam persahabatan, dan mengajarkannya kepada dunia. Kisahnya menjadi undangan bagi siapa pun, termasuk anak-anak dan remaja, untuk mengingat bahwa satu kehidupan yang penuh kasih, betapapun sunyinya, dapat mengubah dunia.


Bung Yan

Share on:

TikTokInstagram
back to blogs