Santo Margarito Flores García Imam Muda yang Tak Takut Bahaya

12 November 2025 | 23.26 WIB

santo-margarito-flores-garc-a-imam-muda-yang-tak-takut-bahaya

SANCTORY - Bayangkan seorang imam muda berjalan diam-diam di malam hari, membawa hosti dan salib kecil di dalam tasnya. Ia tahu, jika tertangkap, hidupnya bisa berakhir. Tapi ia tetap melangkah. Ia tahu, umatnya sedang menunggu. Itulah kisah luar biasa dari Santo Margarito Flores García, imam muda dari Meksiko yang berani melayani Tuhan sampai akhir hidupnya.

Margarito lahir pada 22 Februari 1899 di Taxco de Alarcón, sebuah kota kecil di Meksiko. Keluarganya hidup sederhana. Sejak kecil, ia sudah terbiasa membantu orangtuanya di ladang. Tapi di dalam hatinya, tumbuh satu cita-cita besar: menjadi imam. Ia ingin menolong orang lain dan mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan.

Saat berusia 15 tahun, Margarito masuk seminari di kota Chilopie. Ia belajar keras dan berdoa tekun. Tahun demi tahun berlalu, hingga pada 5 April 1924, mimpinya menjadi kenyataan.  Ia ditahbiskan menjadi imam! Dua minggu kemudian, ia merayakan Misa pertamanya di gereja kampung halamannya, Santa Prisca dan Santo Sebastian. Semua orang bergembira dan bangga kepada imam muda itu.

Masa damai itu tak berlangsung lama. Pemerintah Meksiko saat itu mulai melarang para imam berkarya secara bebas. Gereja Katolik ditekan. Banyak imam harus sembunyi-sembunyi, bahkan ada yang dibunuh. Tapi Romo Margarito tidak takut. Ia berkata dalam hatinya, “Bagaimana aku bisa meninggalkan umatku? Mereka butuh gembala.”

Terinspirasi oleh imam martir Romo David Uribe Velasco, Romo Margarito memutuskan untuk tetap melayani meski secara diam-diam. Ia berpindah dari satu desa ke desa lain, membawa sakramen dan doa bagi umatnya. Ia tahu risikonya, tapi cintanya kepada Tuhan dan umat lebih besar daripada rasa takut.

Pada tahun 1927, bahaya semakin besar. Romo Margarito sempat ditangkap dan dipenjara. Berkat sahabat-sahabatnya, ia berhasil bebas. Tapi bukannya bersembunyi, ia malah kembali berkarya di desa Atenango del Río, tempat yang terkenal berbahaya karena para imam sebelumnya sudah dibunuh.

Tak lama kemudian, ia ditangkap lagi. Tangan dan kakinya diikat, tubuhnya diseret di depan seorang jenderal. Namun, di tengah siksaan, Romo Margarito tidak berhenti berdoa. Ia mempercayakan hidupnya kepada Tuhan dengan damai.

Pada 12 November 1927, Romo Margarito ditembak hingga wafat. Ia meninggal sebagai martir. Seorang imam muda yang setia sampai akhir dalam karyanya. Bahkan seorang polisi bernama Cruz Pineda, yang mencoba menolongnya, juga ikut dibunuh.

Bertahun-tahun kemudian, banyak orang datang ke makamnya di Taxco untuk berdoa dan mengenang keberaniannya. Gereja akhirnya mengakui kesuciannya. Paus Yohanes Paulus II membeatifikasinya pada 22 November 1992, lalu mengkanonisasinya pada 21 Mei 2000 di Vatikan.

Setiap tanggal 12 November, Gereja merayakan pesta Santo Margarito Flores García, imam muda yang tidak takut melayani, tidak gentar menghadapi bahaya, dan tetap setia kepada Tuhan hingga akhir.


Bung Yan

Share on:

TikTokInstagram
back to blogs