Santo Étienne-Théodore Cuenot, MEP Gaun Pengantin dan Cinta yang Tak Padam

14 November 2025 | 16.44 WIB

santo-tienne-th-odore-cuenot-mep-gaun-pengantin-dan-cinta-yang-tak-padam

Di sebuah negeri jauh bernama Vietnam, angin sering datang membawa kabar yang membuat umat Katolik gemetar. Rumah-rumah ibadat diawasi, dan siapa pun yang mengajar atau membela iman bisa ditangkap. Di tengah suasana itu, seorang uskup bernama Étienne-Théodore Cuenot tetap berjalan dari desa ke desa. Langkahnya pelan, tapi hatinya teguh. Setiap kali ia tiba, orang-orang kecil yang ketakutan merasa seperti mendapat sinar hangat di hari yang gelap.

Suatu hari, tahun 1854, umat berhasil menyembunyikannya sehingga ia lolos dari kejaran prajurit. Namun enam tahun kemudian, itu tak terjadi lagi. Ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam kurungan sempit seperti kandang. Tubuhnya yang lemah mulai menyerah pada sakit, tetapi hatinya tidak pernah mundur. Ia wafat pada 14 November 1861, sehari sebelum hukuman resmi dijatuhkan. Keberaniannya mirip keberanian anak yang tetap membela temannya yang dirundung, meski dirinya sendiri takut dimusuhi. Kebaikan sering membutuhkan hati seteguh batu karang.


Gaun Pengantin

Perjalanan Étienne tidak dimulai dari kekuatan besar, tetapi dari tempat yang sangat sederhana. Ia lahir dalam keluarga miskin di Prancis. Ketika masuk seminari, ia membutuhkan pakaian rapi. Ibunya tidak punya apa-apa selain satu gaun pengantin, gaun paling berharga dalam hidupnya. Dengan air mata haru, ibunya memotong gaun itu dan menjahitkan pakaian seminari untuk putranya. Dari pengorbanan kecil itulah Étienne belajar arti cinta yang tulus—cinta yang diam, yang tidak selalu terdengar, tetapi terasa sampai ke hati. Bertahun-tahun kemudian, setelah menjadi imam pada usia muda, ia menepati janjinya: ia memberikan ibunya gaun baru yang indah, sebuah ucapan terima kasih atas cinta tanpa syarat.

Setelah ditahbiskan pada 1825, Étienne memilih perjalanan panjang: meninggalkan Prancis untuk menjadi misionaris. Ia bergabung dengan Serikat Misi Imam-imam Diosesan/Projo Perancis (Missions Étrangères de Paris/MEP) dan berangkat ke Asia. Setelah singgah di Makau, ia tiba di Vietnam, tempat yang jauh dan asing yang kemudian menjadi rumah keduanya. Di sana, ia membangun ulang seminari untuk calon imam muda Vietnam, menulis buku panduan, dan berjalan jauh mengunjungi umat di desa terpencil. Kesehatannya sering menurun, tetapi ia tak pernah berhenti. Dari hidupnya, kita belajar bahwa untuk melakukan kebaikan, kita tidak harus menunggu semuanya sempurna. Anak-anak pun bisa terus belajar, terus berusaha, dan tetap menolong meski keadaan tak selalu mudah.

Pada 1835, Étienne ditahbiskan menjadi uskup. Lima tahun kemudian ia dipercaya menjadi Vikaris Apostolik Cochinchina Timur. Ia memimpin wilayah besar yang penuh tantangan. Selama 26 tahun, ia menahbiskan 56 imam Vietnam, mendukung penerjemahan buku dan Kitab Suci, serta terus hadir bagi umat. Banyak orang melihatnya seperti seorang ayah, tak selalu sempurna, tapi selalu setia mendampingi.

Setelah wafatnya, Gereja terus mengenang perjuangan dan cintanya. Ia dibeatifikasi tahun 1909 dan dikanonisasi pada 1988 bersama 116 Martir Vietnam. Setiap tanggal 14 November, umat merayakan pestanya: hari untuk mengingat seorang gembala yang tetap memilih setia meski dunia di sekelilingnya penuh ancaman.


Warisan Hidup

Warisan Étienne hidup hingga kini. Di Vietnam berdiri Gereja Santo Étienne-Cuenot-Thể sebagai tempat mengenang keberaniannya. Di Prancis, patungnya berdiri di depan gereja kampung halamannya. Seorang uskup Vietnam pernah berkata bahwa hidup Santo Étienne mengajarkan kita untuk mewartakan kebaikan dengan setia, berani, dan penuh kasih. Teladannya mengajak anak-anak dan remaja berani melakukan hal kecil yang bermakna: menghibur teman yang sedih, membantu orang tua, menjaga teman baru, atau berbagi kepada adik kelas yang kesulitan.

Dalam sejarah Gereja, nama Étienne-Théodore Cuenot dikenal sebagai imam, misionaris, uskup, dan martir. Namun lebih dari itu, ia adalah seorang manusia biasa yang memilih untuk tetap berjalan. Kisahnya bukan hanya tentang penganiayaan atau penderitaan, tetapi tentang cinta keluarga, keberanian, dan keteguhan hati, nilai yang tetap penting bagi anak-anak, remaja, dan orang dewasa hari ini.

Jika suatu hari kamu merasa takut untuk berbuat baik, takut dianggap aneh, takut dibully, atau takut berbeda, ingatlah perjalanan Uskup Étienne. Ia tidak memulai hidup sebagai pahlawan. Ia hanya seorang anak yang menerima pakaian dari gaun pengantin ibunya dan berjanji untuk membahagiakannya. Dari langkah kecil itu, lahirlah perjalanan besar yang mengubah dunia.

Terkadang, hati yang berani adalah mukjizat pertama yang bisa kita hadiahkan bagi dunia.


Bung Yan

Share on:

TikTokInstagram
back to blogs